Selasa, 07 April 2015

MAKALAH KASUS PELANGGARAN HAK KEPEMILIKAN TANAH WADUK KEDUNG OMBOH




TUGAS HUKUM AGRARIA

KASUS PELANGGARAN HAK KEPEMILIKAN TANAH
WADUK KEDUNG OMBOH


O


L


E


H


NAMA           :A. ANDALE
NIM                : 2013. 02.02.096
PRODI           : KEWARGANEGARAAN



IKIP MUHAMMADIYAH MAUMERE
2015



KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Alloh s.w.t. karena atas rahmat dan hidayah-Nya lah saya dapat menyelesaikan Makalah Menafsir Kasus Kedung Omboh. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah Hukum Agraria dan pihak-pihak lain yang telah mendukung dalam kelancaran pembuatan makalah ini. Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Agraria. Di dalam penulisan ini, saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan serta kekeliruan. Untuk itu, saya mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyusun laporan ataupun tugas lain di masa yang akan datang.
Akhirnya saya mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat, tidak hanya bagi saya, tetapi juga untuk rekan-rekan. Akhir kata saya mengucapkan terima kasih.



Maumere, 2015
Penulis,








DAFTAR ISI

                                                                                                                                                     Hal.
KATA PENGANTAR .....................................................................................................               i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................               ii
BAB I. PEDAHULUAN ..................................................................................................               4
A.    Latar Belakang ................................................................................................               4
B.     Rumusan Masalah ............................................................................................               4
C.     Tujuan ..............................................................................................................               4
BAB II. PEMBAHASAN ................................................................................................               5
A.    Sejarah ……………………………………………………………….............               5
B.     Penafsiran ........................................................................................................               6
BAB II. PENUTUP ..........................................................................................................               9
A.    Kesimpulan .............................................................................................................               9
B.     Saran .......................................................................................................................               9
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Kedung omboh adalah sebuah objek wisata di Jawa Tengah, yang mana dibalik keindahan dan keasriannya tersembunyi kasus pelanggaran HAM berat atas penduduk pemilik lahan. Kasus Kedung Omboh adalah peristiwa penolakan penggusuran dan pemindahan lokasi pemukiman oleh warga karena tanahnya akan dijadikan waduk. Penolakan warga ini diakibatkan kecilnya jumlah ganti rugi yang diberikan. Hal ini tentunya membawa dampak yang luar biasa atas kemaslahatan warga Negara, yang mana hak-haknya belum dapat terpenuhi oleh pemerintah secara baik. Kasus ini harus menjadi sebuah cerminan kelam akan praktek hukum yang salah, penafsiran akan undang-undang yang memberikan peluang berkuasa semena-mena kepada pemerintah sebagai pemilik / penguasa akan bumi, air dan kekayaan alam lainnya yang terkandung di persada Indonesia. Kasus ini menarik untuk ditelaah dan ditarik suatu garis demarkasi antar hak kepemilikan tanah oleh masyarakat dan pemberlakuan UUPA No. 5 Tahun 1960.

B.     Rumusan Masalah
1.  Runutan Kasus Kedung Omboh
2. Penafsiran Kasus Kedung Omboh dengan mengaitkan pada beberapa pasal pada                                UUPA No. 5 tahun 1960

C.    Tujuan
      Tujuan disusunnya makalah ini adalah agar para pembaca dapat mengetahui beberapa bentuk pelanggaran dalam kasuu kedung omboh, sehingga dapat diadikan sebagai sebah referensi dalam mempelajari Mata Kuliah Hukum Agraria.

BAB II
PEMBAHASAN

A.       SEJARAH (RUNUTAN KASUS KEDUNG OMBOH)
1.      Pokok Masalah
Pada tahun 1985 pemerintah merencanakan membangun waduk baru di Jawa Tengah untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 megawatt dan dapat menampung air untuk kebutuhan 70 hektare sawah disekitarnya. Waduk ini dinamakan Waduk Kedung Ombo. Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini dibiayai USD 156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989.
Waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989. Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di                  3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali, Grobogan. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini.

2.      Kasus
Ketika sebagian besar warga sudah meninggalkan desanya, masih tersisa 600 keluarga yang masih bertahan karena ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m², sementara warga dipaksa menerima Rp 250,-/m². Warga yang bertahan juga mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut. Pemerintah memaksa warga pindah dengan tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal di tengah-tengah genangan air.
Romo Mangun bersama Romo Sandyawan dan K.H. Hammam Ja'far, pengasuh pondok pesantren Pebelan Magelang mendampingi para warga yang masih bertahan di lokasi, dan membangun sekolah darurat untuk sekitar 3500 anak-anak, serta membangun sarana seperti rakit untuk transportasi warga yang sebagian desanya sudah menjadi danau.
Waduk ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, tanggal 18 Mei 1991, dan warga tetap berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak.
Tahun 2001, warga yang tergusur tersebut menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk membuka kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah. Akan tetapi, Pemda Propinsi dan Kabupaten bersikeras bahwa masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Pemerintah telah meminta pengadilan negeri setempat untuk menahan uang ganti rugi yang belum dibayarkan kepada 662 keluarga penuntut.


B.        PENAFSIRAN KASUS DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL-PASAL DALAM UUPA  

Dalam menafsirkan kasus ini, penulis merujuk pada pelaksanaan                                           Undang – Undang Pokok Agraria.
UUPA No. 5 tahun 1960 memiliki 10 dasar dalam pembentukan hukum agraria nasional. Pada kasus ini, akan ditinjau dari beberapa  Dasar ;
1.      Dasar ke 4 yakni dasar bahwa penyelarasan kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan yang menyangkut penguasaan dan pemanfaatan tanah. Dasar ke 4 ini dituangkan dalam pasal 6 UUPA “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
           Perlu dikemukakan disini , bahwa selama hak atas tanah mempunyai fungsi sosial,  sebagai  dimaksud pada pasal 6 , harus diartikan semua penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dan haknya sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang empunya, juga harus bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.
           Dengan demikian hak atas tanah apa pun ada pada seseorang tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
           Namun kesemuanya ini tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum / masyarakat. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling berimbang , sehingga pada akhirnya akan tercapai kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat .
  
           Dari dasar ini , jika dihubungkan dengan Kasus Kedung Omboh bahwa jelas Pemerintah kala itu telah melalaikan tujuan Negara dalam mensejahterakan masyarakat. Negara telah mengabaikan kepentingan perseorangan dalam hal asas hak dan manfaat kepemilikan atas tanah demi tercapainya kepentingan Negara yang bahkan dengan tindakan keji melanggar HAM.

2.      Dasar ke 6 adalah dasar kebangsaan yang memberikan dasar persamaan dan kesempatan setiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita untuk memperoleh sesuatu ha katas tanah dan hasilnya baik bagi diri maupun keluarganya.
Dasar ke 6 ini diletakan pada Pasal 9 ayat 2 UUPA dan  Pasal 11 ayat 2.
           Pasal 9 ayat 2 UUPA , menentukan”Tiap warga Negara Indonesia ,baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri maupun keluarganya”.
Pasal 11 ayat 2 , menentukan :”Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan  golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional     diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah ”.

                        Dari kedua pasal inipun, telah jelas terjadi penyelewengan dan kesewenangan oleh Pemerintah. Tidak adanya penghormatan akan kesempatan memperoleh hak atas tanah yang menyebabkan banyak keluarga yang terlantar serta Pemerintah tidak sama sekali menjamin suatu perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Hal ini seharusnya mampu dijadikan dasar bagi pemerintahan masa kini untuk memperjuangkan kembali hak – hak masyarakat yang belum terpenuhi.

3.      Perlu dikemukakan juga bahwa dalam Pasal 13 ayat 1 UUPA, menentukan :”Pemerintah berusaha agar usaha-usaha dalam bidang agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai dimaksud pasal 2 ayat 3 serta menjamin bagi setiap warga Negara Indonesia, derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia baik bagi diri sendiri maupun keluarganya ”.
Kasus yang terjadi di kedung omboh, jika dilihat dari suatu strategic planning ini merupakan suatu usaha positif oleh Negara dalam meningkatkan kesejahteraan. Namun dalam pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan. Sesungguhnya UUPA telah menggambaran secara sistematis tentang tata cara yang seharusnya ditempuh. Jadi pada dasarnya telah ada keinginan terselubung dari penguasa Negara untuk meraup keuntungan dari peristiwa yang mengorbankan ribuan jiwa yang harus ditelantarkan ini.

4.      Dalam Pasal 8 UUPA telah menentukan bahwa :”untuk kepentingan umum , termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bangsa dari rakyat  hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang - undang”
Negara dapat dengan serta merta mencabut hak milik atas tanah seorang warga Negara, namun apakah itu sudah sesuai norma yang digarisan dalam undang – undang ?
Seorang pemilik tanah wajib mendapatkan ganti kerugian yang layak demi tercapainya kesejahteraan yang dimaksud dalam pasal – pasal UUPA yang mengatur tenang hak perseorangan atas tanah.
Hak milik itu sesungguhnya adalah turun – temurun dan penuh dipunyai oleh orang atas tanahnya tersebut. Negara tidak dapat dengan kesewenangannya menguasai bahkan seakan- akan memiliki hak itu . harus ada tindakan – tindakan hokum yang adil agar tidak menimbulkan kesimpulan abuse of power.
 
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
        Kasus Kedung Omboh menjadi suatu pembelajaran bagaimana penempatan pelaksanaan hukum di Indonesia harus adil. Hal – hal menyangkut tanah adalah urgensi yang patut diperhatikan, karena tanah menjadi harta terutama yang menunjang kesejahteraan dan kemaslahatan warga Negara. Negara harus mampu menghormati kepentingan perseorangan dan mensejajarkannya dengan kepentingan umum bahkan kepentingan Negara apalagi sampai melibatkan pihak investor asing. Menempatkan HAM sebagai regulasi tertinggi dalam menata suatu planning pembangunan, bukan hanya sebagai factor konseptual tapi menjadi kekuatan dalam melaksanakan pembangunan yang berkeadilan demii terwujudnya tjuan dan cita-cita nasional.

B. Saran
Kasus Kedung Omboh harus diperjuangkan kembali, demi tercapainya suatu supremasi hukum yang berkeadilan

         Mahasiswa harus mampu mempelajari kasus yang terjadi dan mampu mengimplikasikan pengetahuannya tentang hokum agrarian dalam kehiupan bermasyarakat sehingga  kasus yang sama tidak terjadi kembali.


DAFTAR PUSTAKA


Chomzah A. Achmad, 2003. Hukum Agraria (Pertanahan Inodnesia), Penerbit Prestasi Pustaka. Jilid 1
UUPA No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria .