TUGAS
HUKUM AGRARIA
KASUS PELANGGARAN HAK KEPEMILIKAN
TANAH
WADUK KEDUNG OMBOH
O
L
E
H
NAMA :A. ANDALE
NIM :
2013. 02.02.096
PRODI :
KEWARGANEGARAAN
IKIP MUHAMMADIYAH
MAUMERE
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Alloh s.w.t. karena atas rahmat
dan hidayah-Nya lah saya dapat menyelesaikan Makalah Menafsir Kasus Kedung
Omboh. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah
Hukum Agraria dan pihak-pihak lain yang telah mendukung dalam kelancaran
pembuatan makalah ini. Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Agraria. Di dalam penulisan ini,
saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan serta kekeliruan. Untuk itu,
saya mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyusun laporan
ataupun tugas lain di masa yang akan datang.
Akhirnya saya mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat, tidak hanya bagi saya, tetapi juga untuk rekan-rekan. Akhir kata
saya mengucapkan terima kasih.
Maumere,
2015
Penulis,
DAFTAR
ISI
Hal.
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I. PEDAHULUAN .................................................................................................. 4
A.
Latar
Belakang ................................................................................................ 4
B.
Rumusan
Masalah ............................................................................................ 4
C.
Tujuan
.............................................................................................................. 4
BAB II. PEMBAHASAN ................................................................................................ 5
A.
Sejarah
………………………………………………………………............. 5
B.
Penafsiran ........................................................................................................ 6
BAB II. PENUTUP .......................................................................................................... 9
A.
Kesimpulan
............................................................................................................. 9
B.
Saran
....................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kedung omboh adalah sebuah objek
wisata di Jawa Tengah, yang mana dibalik keindahan dan keasriannya tersembunyi
kasus pelanggaran HAM berat atas penduduk pemilik lahan. Kasus Kedung Omboh adalah peristiwa penolakan penggusuran
dan pemindahan lokasi pemukiman oleh warga karena tanahnya akan dijadikan waduk. Penolakan
warga ini diakibatkan kecilnya jumlah ganti rugi yang diberikan. Hal ini tentunya membawa dampak
yang luar biasa atas kemaslahatan warga Negara, yang mana hak-haknya belum
dapat terpenuhi oleh pemerintah secara baik. Kasus ini harus menjadi sebuah
cerminan kelam akan praktek hukum yang salah, penafsiran akan undang-undang
yang memberikan peluang berkuasa semena-mena kepada pemerintah sebagai pemilik
/ penguasa akan bumi, air dan kekayaan alam lainnya yang terkandung di persada
Indonesia. Kasus ini menarik untuk ditelaah dan ditarik suatu garis demarkasi
antar hak kepemilikan tanah oleh masyarakat dan pemberlakuan UUPA No. 5 Tahun
1960.
B. Rumusan Masalah
1. Runutan Kasus Kedung Omboh
2.
Penafsiran Kasus Kedung Omboh dengan mengaitkan pada beberapa pasal pada UUPA No. 5
tahun 1960
C. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah agar para pembaca dapat mengetahui beberapa
bentuk pelanggaran dalam kasuu kedung omboh, sehingga dapat diadikan sebagai
sebah referensi dalam mempelajari Mata Kuliah Hukum Agraria.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH (RUNUTAN KASUS KEDUNG OMBOH)
1.
Pokok Masalah
Pada tahun 1985
pemerintah merencanakan membangun waduk baru di Jawa Tengah untuk
pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 megawatt dan dapat menampung air
untuk kebutuhan 70 hektare sawah disekitarnya. Waduk ini dinamakan Waduk Kedung
Ombo. Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini dibiayai USD 156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta
dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun
1985 sampai dengan tahun 1989.
Waduk mulai
diairi pada 14
Januari 1989.
Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten,
yaitu Sragen, Boyolali, Grobogan. Sebanyak 5268
keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini.
2.
Kasus
Ketika sebagian
besar warga sudah meninggalkan desanya, masih tersisa 600 keluarga yang masih
bertahan karena ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan
ganti rugi Rp 3.000,-/m², sementara warga dipaksa menerima Rp 250,-/m². Warga
yang bertahan juga mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat
perlawanan mereka terhadap proyek tersebut. Pemerintah memaksa warga pindah
dengan tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya warga yang bertahan kemudian
terpaksa tinggal di tengah-tengah genangan air.
Romo Mangun bersama Romo Sandyawan dan K.H. Hammam Ja'far, pengasuh pondok pesantren Pebelan
Magelang mendampingi para warga yang masih bertahan di lokasi, dan membangun
sekolah darurat untuk sekitar 3500 anak-anak, serta membangun sarana seperti
rakit untuk transportasi warga yang sebagian desanya sudah menjadi danau.
Waduk ini
akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, tanggal 18 Mei 1991, dan warga
tetap berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak.
Tahun 2001,
warga yang tergusur tersebut menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk membuka
kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah.
Akan tetapi, Pemda Propinsi dan Kabupaten bersikeras bahwa masalah ganti rugi
tanah sudah selesai. Pemerintah telah meminta pengadilan negeri setempat untuk
menahan uang ganti rugi yang belum dibayarkan kepada 662 keluarga penuntut.
B.
PENAFSIRAN KASUS DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL-PASAL DALAM
UUPA
Dalam menafsirkan kasus ini,
penulis merujuk pada pelaksanaan Undang
– Undang Pokok Agraria.
UUPA No. 5 tahun 1960 memiliki 10 dasar dalam
pembentukan hukum agraria nasional. Pada kasus ini, akan ditinjau dari beberapa Dasar ;
1.
Dasar ke 4 yakni dasar bahwa
penyelarasan kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan yang
menyangkut penguasaan dan pemanfaatan tanah. Dasar ke 4 ini dituangkan dalam
pasal 6 UUPA “semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial”.
Perlu
dikemukakan disini , bahwa selama hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, sebagai
dimaksud pada pasal 6 , harus diartikan semua penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaan dan sifat dan haknya sehingga bermanfaat baik bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan yang empunya, juga harus bermanfaat bagi
masyarakat dan Negara.
Dengan
demikian hak atas tanah apa pun ada pada seseorang tidak dapat dibenarkan bahwa
tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Namun
kesemuanya ini tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan terdesak sama
sekali oleh kepentingan umum / masyarakat. Kepentingan masyarakat dan
kepentingan perseorangan harus saling berimbang , sehingga pada akhirnya akan tercapai kemakmuran, keadilan dan
kebahagiaan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat .
Dari dasar ini , jika dihubungkan
dengan Kasus Kedung Omboh bahwa jelas Pemerintah kala itu telah melalaikan
tujuan Negara dalam mensejahterakan masyarakat. Negara telah mengabaikan
kepentingan perseorangan dalam hal asas hak dan manfaat kepemilikan atas tanah
demi tercapainya kepentingan Negara yang bahkan dengan tindakan keji melanggar
HAM.
2.
Dasar ke 6 adalah dasar
kebangsaan yang memberikan dasar persamaan dan kesempatan setiap warga Negara
Indonesia, baik laki-laki maupun wanita untuk memperoleh sesuatu ha katas tanah
dan hasilnya baik bagi diri maupun keluarganya.
Dasar ke 6 ini diletakan
pada Pasal 9 ayat 2 UUPA dan Pasal 11
ayat 2.
Pasal 9 ayat 2 UUPA , menentukan”Tiap warga Negara Indonesia ,baik laki-laki
maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas
tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri maupun
keluarganya”.
Pasal 11 ayat 2 ,
menentukan :”Perbedaan dalam keadaan
masyarakat dan keperluan golongan rakyat
di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan
terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah ”.
Dari kedua pasal inipun, telah jelas terjadi penyelewengan dan
kesewenangan oleh Pemerintah. Tidak adanya penghormatan akan kesempatan
memperoleh hak atas tanah yang menyebabkan banyak keluarga yang terlantar serta
Pemerintah tidak sama sekali menjamin suatu perlindungan terhadap kepentingan
golongan ekonomi lemah. Hal ini seharusnya mampu dijadikan dasar bagi
pemerintahan masa kini untuk memperjuangkan kembali hak – hak masyarakat yang
belum terpenuhi.
3. Perlu dikemukakan juga bahwa dalam Pasal 13 ayat 1 UUPA, menentukan :”Pemerintah berusaha agar usaha-usaha dalam
bidang agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan
kemakmuran rakyat sebagai dimaksud pasal 2 ayat 3 serta menjamin bagi setiap
warga Negara Indonesia, derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia baik
bagi diri sendiri maupun keluarganya ”.
Kasus
yang terjadi di kedung omboh, jika dilihat dari suatu strategic planning ini
merupakan suatu usaha positif oleh Negara dalam meningkatkan kesejahteraan.
Namun dalam pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan. Sesungguhnya UUPA
telah menggambaran secara sistematis tentang tata cara yang seharusnya
ditempuh. Jadi pada dasarnya telah ada keinginan terselubung dari penguasa
Negara untuk meraup keuntungan dari peristiwa yang mengorbankan ribuan jiwa
yang harus ditelantarkan ini.
4. Dalam Pasal 8 UUPA telah menentukan bahwa :”untuk kepentingan umum ,
termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bangsa dari
rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
undang - undang”
Negara
dapat dengan serta merta mencabut hak milik atas tanah seorang warga Negara,
namun apakah itu sudah sesuai norma yang digarisan dalam undang – undang ?
Seorang
pemilik tanah wajib mendapatkan ganti kerugian yang layak demi tercapainya
kesejahteraan yang dimaksud dalam pasal – pasal UUPA yang mengatur tenang hak
perseorangan atas tanah.
Hak
milik itu sesungguhnya adalah turun – temurun dan penuh dipunyai oleh orang
atas tanahnya tersebut. Negara tidak dapat dengan kesewenangannya menguasai
bahkan seakan- akan memiliki hak itu . harus ada tindakan – tindakan hokum yang
adil agar tidak menimbulkan kesimpulan abuse of power.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kasus Kedung Omboh menjadi suatu pembelajaran bagaimana penempatan pelaksanaan
hukum di Indonesia harus adil. Hal – hal menyangkut tanah adalah urgensi yang
patut diperhatikan, karena tanah menjadi harta terutama yang menunjang
kesejahteraan dan kemaslahatan warga Negara. Negara harus mampu menghormati
kepentingan perseorangan dan mensejajarkannya dengan kepentingan umum bahkan
kepentingan Negara apalagi sampai melibatkan pihak investor asing. Menempatkan
HAM sebagai regulasi tertinggi dalam menata suatu planning pembangunan, bukan
hanya sebagai factor konseptual tapi menjadi kekuatan dalam melaksanakan
pembangunan yang berkeadilan demii terwujudnya tjuan dan cita-cita nasional.
B.
Saran
Kasus
Kedung Omboh harus diperjuangkan kembali, demi tercapainya suatu supremasi
hukum yang berkeadilan
Mahasiswa harus mampu mempelajari kasus yang
terjadi dan mampu mengimplikasikan pengetahuannya tentang hokum agrarian dalam
kehiupan bermasyarakat sehingga kasus
yang sama tidak terjadi kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Chomzah
A. Achmad, 2003. Hukum Agraria
(Pertanahan Inodnesia), Penerbit Prestasi Pustaka. Jilid 1
UUPA
No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria .