A. Landreform di Indonesia
Secara terminology, kata landreform, berasal
dari bahasa inggris. Land artinya tanah, Reform artinya
membentuk kembali. Jadi Landreform bermakna sebagai
perombakan struktur pemilikan/penguasaan tanah. Akan tetapi para Pakar Agraria
menyatakan bahwa landreform bukan hanya sekedar perombakan terhadap struktur
penguasaan/pemilikan tanah, melainkan perombakan terhadap hubungan manusia
dengan tanah dan hubungan manusia dengan manusia yang berkenaan dengan tanah
guna meningkatkan penghasilan Petani.
Adapun yang merupakan ciri pokok pelaksanaan landreform di
Indonesia sebagai berikut :
a. Tidak menghapus hak milik perseorangan atas
tanah bahkan seara kuantitatif menambah jumlah pemilik tanah
b. Adanya suatu jaminan pembayaran ganti rugi
(kompensasi) bagi para bekas pemilik tanah-tanah pertanian kelebihan dan
absentee yang dikuasai oleh Pemerintah[1]
Dimata Ir. Soekarno (Presiden Pertama RI) Landreform adalah land
for the tillers, sebagaimana dinyatakan dalam amanatnya pada
peringatan hari kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1960;
“Tanah untuk mereka
yang betul-betul menggarap tanah!. Tanah, tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang
menjadi gemuk, gendut karena menghisap keringstnya orang-orang yang diserahi
menggarap tanah itu !..”
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pelaksanaan Landreform di
Indonesia secara formal dimulai dengan peletakan dasar-dasar landreform melalui
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Poko-Pokok Agraria (UUPA)
dan Undang-Undang No 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian bagi hasil, selanjutnya
Luas Tanah Pertanian jo. UU No 1 tahun 1961 dan PP No 224 tahun 1961 tentang
pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian.
Saat program Landreform diluncurkan, kondisi politik di
Indonesia sedang labil. Pada masa itu dikenal pendekatan “politik sebagai
panglima”, dimana tiap kebijak pemerintah dimaknai dalam konteks politik.
Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadikanlandreform sebagai
alat yang ampuh untuk memikat simpatisan. Landreform diklaim
sebagai alat perjuangan partai mereka, dengan menjanjikan tanah sebagai faktor
penarik untuk perekrutan anggota. Pola ini memang kemudian menjadikan PKI cepat
disenangi oleh masyarakat luas terutama di Jawa yang petaninya sudah merasakan
kekurangan tanah garapan. Namun bagi petani bertanah luas, landreform merupakan
ancaman bagi mereka, baik secarapolitik maupun ekonomi, yaitu kekhawatiran terhadap
akan menurunnya luas penguasaan tanah mereka yang akhirnya berimplikasi kepada
penurunan pendapatan keluarga dan kesejahteraan.
Program Landreform hanya berjalan intensif dari
tahun 1961 sampai tahun 1965. Namun demikian, pemerintahan orde Baru yang
berkuasa pada masa berikutnya mengklaim bahwa landreform tetap
dilaksanakan meskipun secara terbatas. Dalam makalah Posterman (2002)
diuraikan, bahwa dari tahun 1960 sampai 2000 secara akumulatif tercatat telah
berhasil dilakukan distribusi lahan dalam konteks landreform seluas
850.128 ha. Jumlah rumah tangga tani yang menerima adalah 1.292.851 keluarga,
dengan rata-rata keluarga menerima 0,66 ha.[2]
Data ini sedikit berbeda dengan yang dikeluarkan oleh BPN
(Kepala BPN, 2001), dimana dari total obyek tanah landreform 1.601.957
ha, pada kurun waktu 1961-2001 telah didistribusikan tanah seluas 837.082 ha
(52%) kepada 1.921.762 petani penerima. Selain itu, untuk tanah absentee dan
tanah kelebihan maksimun telah dilakukan ganti rugi oleh Pemerintah seluas
134.558 ha kepada 3.358 orang bekas pemilik, dengan nilai ganti rugi lebih dari
Rp 88 trilyun.
Khusus selama era pemerintahan orde baru, untuk menghindari
kerawanan social politik yang besar, maka landreform diimplementasikan
dengan bentuk yang sangat berbeda. Peningkatan akses petani kepada tanah
dilakukan melalui kebijakan berupa penyeimbangan sebaran penduduk dengan luas
tanah, dengan cara memindahkan penduduk ke daerah-daerah yang tanahnya luas
melalui transmigrasi. Program ini kemudian dibarengi dengan program pembangunan
PIR (perkebunan Inti Rakyat). Luas tanah yang diberikan kepada transmigran dan
petani plasma mengikuti ketentuan batas minimum penguasaan yaitu 2 ha lahan
garapan per keluarga.
Sektor pertanian yang berperan dalam penyedia dan penyerap
tenaga kerja di Indonesia menempatkan bidang pertanian sebagai pilar
perekonomian nasional. Namun, di sisi lain Indonesia yang pernah swasembada
beras (1985,1986,1993), saat ini malah menjadi pengimpor beras terbesar di
dunia. Program pemerintah Indonesia dikalahkan oleh transformasi Vietnam dari
negeri yang kekurangan pangan, menjadi pengekspor beras kedua di dunia. Hal ini
disebabkan oleh fakta permasalahan di Indonesia yaitu :
1. Dari sisi Petani
Bukan menjadi rahasia lagi jika Indonesia yang negara agraris,
petani adalah pihak yang paling tidak diuntungkan. Pemerintah tidak berpihak
kepada petani dengan alasan :
Ä Infrastuktur daerah pertanian dan pedesaan yang
diabaikan
Ä Urbanisasi dibiarkan
Ä Standar kehidupan daerah pedesaan yang rendah
Ä Pemakaian dan harga pupuk meningkat
Ä Harga Komoditas ditekan
Ä Tidak ada pengaturan waktu pangen yang
berakibat jatuhnya harga
Ä Kebijakan impor pemerintah terhadap hasil
pertanian tanpa ada upaya peningkatan volume dan kualitas produksi didalam
negeri
Ä Penguasaan tekhnologi pertanian yang
ketinggalan jaman
Masalah lain adalah kepemilikan lahan. Lahan yang digarap petani
pada umumnya jauh di bwah standar skala nasional. Kenyataan itu membuat
pendapatan kehidupan petani takkan membaik, tetapi bertambah miskin.
Permasalahan bertambah rumit bagi petani kecil terutama dalam hal mendapatkan
benih, pupuk, pestisida dan mesin dan penguasaan tanah.
2. Dari sisi Pemerintah
Pemerintah tak memiliki desain yang komprehensif untuk
mensejahterakan petani. Persaingan harga juga berpotensi menghancurkan
produk-produk pertanian dalam negeri. Pasalnya harga produk pertanian luar
negeri lebih murah disbanding harga produk pertanian local. Hak ini dikarenakan
negara lain memiliki konsep dan tata distribusi yang jelas baik dalam pengadaan
pupuk, benih sampai hasil panen pertania. Di bidang tekhnologi dan mekanisasi,
Indnesia sangat jauh tertinggal dibandung negara-negara maju. Pemerintah
Indonesia belum mampu mengolah dan mengoptimalkan sumber daya alam yang ada
karena keterbatasan dana dan tekhnologi yang dimiliki.
3. Mafia pangan dari yang kecil sampai yang besar
Kekayaan sumber daya alam secara teoritis akan menunjang
pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi pada kenyataanya justru
bertentangan, karena negara-negara di dunia yang kaya akan sumber daya alamnya
seringkali merupakan negara dengan tingkat ekonomi yang rendah. Hal ini karena
sumber pendapatan dari hasil bumi memiliki kestabilan ekonomi social yang
rendah daripada sector industri dan jasa. Disamping itu, negara yang kaya akan
sumber daya alam juga cenderung tidak memiliki tekhnologi yang memadai dalam
mengolahnya. Hal-hal seperti ini memicu timbulnya mafia-mafia di berbagai
bidang, termasuk di sector pertanian, mulai yang kecil seperti tengkulak,
sampai ke kelas kaka seperti mafia pupuk dan mafia impor. Jaringan mafia ini
biasanya berakar jauh ke dalam birokrasi pemerintahan, dan menyebabkan sulitnya
program pemerintah bisa berjalan dengan benar.[3]
B. Faktor Prasyarat Pelaksanaan Landreform di
Indonesia
Pembaruan agraria secara umum mensyaratkan dua hal pokok,yaitu
komitmen politik pemerintah yang kuat di satu sisi dan tersedianya modal social
(social capital), Misalnya berkembangnya civil society yang
memadai. Dapat dikatakan, keduanya saat ini masih dalam kondisi tidak siap.
Hambatan lain datang dari intervensi yang tak terbantahkan dari ideology
kapitalisme khususnya melalui instrument pasar global, yang telah menebus
seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal sistem agraria suatu negara. Jika
selama ini pemerintah yang menjadi penguasa terhadap petani dengan menggunakan
tanah sebagai alat politiknya, terutama dalam era “Tanam Paksa”, maka di era
pasar bebas ketika komoditas ditentukan oleh kehendak pasar, maka pasarlah yang
menjadi penguasa. Dengan kata lain, sistem agraria yang akan berjalan di suatu
negara, baik penguasaan, pemilikan, dan penggunaan; akan lebih ditentukan oleh
pasar dengan ideologinya sendiri misalnya dengan penerapan prinsip-prinsip
efisiensi dan keuntungan.
Secara umum ada empat faktor penting sebagai prasyarat
pelaksanaan landreform, yaitu : (1). Elit politik yang sadar dan
mendukung, (2) organisasi petani dan masyarakat yang kuat, (3) ketersediaan
data yang lengkap dan akurat, serta (4) ketersediaan anggaran yang memadai.
Untuk Indonesia, dapat dikatakan keempat faktor tersebut saat
ini sedang dalam kondisi lemah. Atau dengan kata lain ini merupakan
faktor/kendala pelaksana landreform di Indonesia, dengan
uraian :
1. Lemahnya Keinginan Elite Politik dan Kapasitas
Pemerintah Lokal
Kunci pokok pelaksanaan landreform ada
pada politisi, karena permasalahanlandreform ada aspek politik. Hal
ini dinyatakan oleh Walinsky (1997; dalam Abdurrahman,2004), yaitu :
Di pundak para
politikuslah masalah besar landreform terletak. Hanya mereka yang mampu
melakukannya, atau sebaliknya pada mereka jugalah yang memastikan apakah
landreform dapat dilaksanakan atau tidak sama sekali. Kunci pelaksaan
Landreform bukanlah pada perencana, pakar ataupun undang-undang, meskipun dalam
tataran wacana semua pihak boleh dan memang sebaiknya ikut terlibat.[4]
Kesadaran dan kemauan pihak politisi dapat ditelusuri dari
produk kebijakan yang mereka hasilkan. Dengan didasari Keppres No 131 tahun
1961 yang kemudian disempurnakan dengan Keppres no 263 tahun 1964, dibentuk
Panitia Landreform di Indonesia mulai dari tingkat
provinsi, kabupaten, sampai dengan kecamatan dan desa. Hal ini menandakan bahwa
pemerintah menaruh perhatian yang tinggi, meskipun masih terkesan sentralistrik.
Namun kemudian keluar keppres No 5 Tahun 1980 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Penyelenggaraan landreform, dimana
Panitia Landreform tersebut dibubarkan dan dialihkan
wewenangnya kepada jajaran birokrasi Departemen Dalam Negeri, mulai dari menteri
sampai dengan camat dan kepala desa. Semakin jelas dari kebijakan ini, bahwalandreform dianggap
sebagai bagian pekerja rutin belaka oleh Pemerintah, namun akses masyarakat dan
swasta untuk terlibat kurang jelas posisi dan perannya.
Dalam studi terhadap berbagai dokumen pembangunan yang
dikeluarkan berbagai instansi, hukum dan peraturan tentang agraria, terutama
Tap MPR no.IX tahun 2001, belum menjadi produk hukum yang dipedomani. Belum
ditemukan adanya kebijakan Pemerintah yang secara langsung berupaya untuk
memperbaiki sistem agraria secara komprehensif.
2. Ketiadaan Organisasi Masyarakat Tani yang Kuat
dan Terintegrasi
Jika ditelusuri perkembangan keberadaan kelembagaan (atau
adakalanyaa disebut organisasi) dalam masyarakat pertanian dan pedesaan,
terlihat bahwa kelembagaan umumnya dibentuk dari atas, dan lebih sebagai wadah
untuk distribusi bantuan dari pemerintah sekaligus untuk memudahkan
pengontrolannya (Syahyuti,2003).[5]
Ribuan kelompok tani yang dibuat serta ditambah ribuan lagi
koperasi, umunya bukan berasal dari ide dan kebutuhan masyarakat setempat.
Jenis kelembagaan seperti ini tentu bukan merupakan wadah perjuangan yang
representative untuk mengimplementasikan landreform, karena
selain kondisi individualnya yang lemah, juga tidak terstruktur dan
terintegrasi satu sama lain. Kelompok tani dibangun lebih sebagai sebuah
organisasi ekonomi dan social, bukan organisasi untuk aktifis politik praktis.
Beberapa organisasi menegaskan diri bahwa mereka mereka memiliki identitas
local yang sangat spesifik. Kekuatan ini harus diperhitungkan yang kuat kepada
basis komunitasnya.
Secara umum, mengintroduksi wacana landreform kepada
masyarakat petani yang berada pada level sedikit di atas garis batas
subsistensi merupakan ide yang mahal dan mewah. Inilah salah satu tantangan
dalam implementasi reforma agraria, yaitu untuk mendapatkan dukungan yang luas
dan kokoh dari masyarakat. Kendala lain adalah karena adanya pemahaman pada
masyarakat, bahwa segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan dalam struktur
penguasaan agraria saat ini dianggap merupakan sesuatu yang natural, semata-mata
karena mekanisme pasar, bukan merupakan kesalahan scenario politik kalangan elit
negara. Segaal permasalahan yang dialami dalam berusaha tani tidak pernah
dirasakan karena buruknya struktur dan sistem penguasaan tanah, namun
menimpakannya kepada masalah harga pupuk yang tinggi, rendahnya harga jual
produk ketiadaan air, irigasi dan lain-lain.
3. Miskinnya Ketersediaan Data Pertanahan dan
Keagrarian
Data yang komprehensif merupakan kebutuhan yang pokok untuk
merumuskan program landreform (dan bahkan reforma agraria)
secara nasional. Selain data kuantitatif juga diperlukan berbagai data
kualitatif dalam konteks sosiagraria. Untuk mengimplementasikan landreform, maka
beberapa pertanyaan pokok, yang sesungguhnya merupakan data-data utama, perlu
dijawab terlebih dahulu Psoterman (2002) yaitu : Siapa yang harus menerima
lahan hasil landreform, dimana harus diselenggarakan, berapa tanah
yang harus diberikan kepada penerima, apa jenis tanah yang menjadi obyeknya,
berapa biaya yang harus dikeluarkan, apakah penerima harus membayar, siapa saja
yang berperan serta, dan pada level pemerinatahn yang mana yang bertanggung
jawab dan memonitor.Seluruh pertanyaan ini baru bisa dijawab jika tersedia data
yang lengkap.
Suatu lokakarya internasional tentang Reforma Agraria pernah
dilaksanakan di Selabintana, Sukabumi, Jawa Barat tahun 1981, yang kemudian
menghasilkan sebuah inventarisasi sejumlah topic sebagai agenda penelitian
tersebut dirangkum oleh Wiradi (2000) menjadi 12 topik, diantaranya adalah 1).
Tentang administrasi pertanahan berupa peta pemilikan, penguasaan dan
penggunaan secara lengkap termsuk pendaftaran tanah; 2). Pelaku dan hubungan
social diantara pemilik tanah,dengan petani tak bertanah, dan dengan masyarakat
pedesaan; 3). Persepsi masyarakat tentang hak-hak atas tanah dan fungsi tanah;
4). Kedudukan dan sikap berbagai kelompok terhadap gagasan reforma agraria; dan
5). Konflik pertanahan. Didorong atas keprihatinan ketersediaan data pertanahan
di Indonesia, maka pada tahun 2000, dilaksanakan Seminar dan lokakarya di bogor
tentang Metode Penelitian Agraria kerjasama beberapa lembaga penelitian dan
Perguruan Tinggi. Sebagai sebuah bidang yang cakupannya luas dan beragam, maka
bentuk penelitian yang dibutuhkan bersifat induktif-partisipatif. Penulis
berpendapat, narasi tekstual hukum adat hanya dapat menjadi titik tolak dalam
menelusuri akar nilai untuk memehami tatanan hukum agraria yang eksis saat ini.
Transformasi tata nilai yang telah berlangsung secara gradual tak dapat
menjadikannya otomatis sebagai aspirasi yang betul-betul saat ini.
Masalah agraria juga dapat didekati dari sisi kelembagaan.
Kelembagaan agraria secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu tata
hubungan social struktur, perilaku, dan norma social antara seluruh pihak baik
individu maupun lembaga terhadap sumber-sumber agraria.
4. Ketersediaan dan Alokasi Anggaran yang kecil
Pelaksanaa landreform secara serentak dan
menyeluruh akan menuntut biaya yang sangat besar, mulai dari persiapannya,
pembentukan organisasi pelaksana, implementasi, sampai dengan pengawasan pasca
redistribusi. Sampai sekarang, pada Kabinet Gotong Royong semenjak era
Reformasi, landreform belum pernah dijadikan agenda
pemerintahan yang tegas, apalagi untuk menyisihkan dana anggaran secara khusus.
Dari sisi hukum dan perundangan telah ada beberapa kemajuan dilakukan, namun
belum dalam bentuk program aksi. Kalangan MPR telah mendukung dengan
mengeluarkan Tap No IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam, meskipun belum diikuti oleh perbaikan dan sinkronisasi
undang-undang sektoral.
Dalam beberapa kasus dijumpai bantuan langsung pemerintah dalam
pembiayaan pensertifikatan tanah, misalnya melalui program nasional (PRONA).
Namun, yang dibutuhkan sesuangguhnya lebih jauh dari itu, misalnya dapatkah
disediakan kredit lunak bagi petani untuk mendapatkan lahan, misalnya dengan
membeli tanah yang dikuasai oleh petani luas atau dari swasta.
C. Kebijakan Pemerintah Vietnam
Kebijakan Pemerintah Vietnam terhadap pembangunan pertanian
senantiasa terfokus sehingga pertanian bisa menjadi basic atau
penyangga perekonomian nasional. Mulai dari pengadaan pupuk, pembanguna
infrastruktu seperti irigasi, proteksi hasil pertanian hingga memperhatikan
nasib petani dan lainnya snagat diperhatikan pemerintah atau singkat kata
kebijakan dari hulu hingga ke hilir terselenggara secara konsisten
Tidak ada kebijakan yang bersifat parsial, berkutat di teori
namun Pemerintah Vietnam lebih terfokus mengatasi berbagai persoalan pertanian
di negerinya. Hasilnya, pertanian tumbuh pesat dan nama Vietnam menjadi salah
satu negara penghasil beras yang sangat diperhitungkan dalam dunia perdagangan
Internasional
Itu sebagai pembanding, bagaimana pemerintah Indonesia bisa
mencontoh pola pembangunan pertanian di negara yang sebenarnya terbilang kalah
pengalaman dari segala hal dibandingkan Indonesia. Tidak ada maksud untuk
mengecilkan peran pemerintah terutama Departemen Pertanian yang telah gigih
berupaya membangun sector pertanian terutama untuk mengambilkan kejayaan
swasembada beras di masa lalu namun banyak hal yang dilakukan Pemerintah
Vietnam patutu dicontoh.
Berbicara pembangunan pertanian di Vietnam. Hal lain yang
menonjol adalah tingginya etos kerja petani Vietnam. Jelas, simbiosis yang
sangat menguntungkan karena kombinasi antara kebijakan pemerintah yang terfokus
dan didukung tingginya etos kerja tersebt kian mempermudah grand
design Pemerintah Vietnam untuk menjadikan jualan utama negara itu
sebagai industri agraris.
Pertanian entrepreneurship di
Vietnam bisa menjadi magnet penyadar bagi negara agraris lainnya termasuk
Indonesia. Memang, hingga saat ini negara tersebut masih konsisten dengan paham
komunis namun dalam melakukan pembangunan mereka telah mereformasi diri,
membuka akses pasar yang terfokus pada market oriented dengan berlandaskan
kapitalisme. Dan yang menjadi catatan penting pengiringnya,
pembangunan di segala bidang termasuk sector pertanian di Vietnam ternnyata
terlepas dari intrik-intrik politik. Atau dengan kata lain, tidak ada
politisasi pertanian. Kita tentu mengharapkan pemerintah Indonesia kian konsisten
dalam membenahi dan membangun sector pertanian. Secara teoritis, 12 kegiatan
strategi Deptan atas persetujuan Komisi IV DPR seperti 1). Program penyediaan
infrastruktur, 2). Penguatan lembaga ekonomi pertanian 3) stabilisasi harga
komoditas primer dan lainnya sudah cukup bagus. Tinggal implementasi untuk
mengubah potensi besar itu menjadi kenyataan yang bermuara pada peningkatan
kesejahteraan rakyat terutama kaum petani. Ada beberapa langkah yang harus
dilakukan :
1. Pemerintah harus membuang sejauh mungkin atau
paling tidak meminimalisasi kepentingan politisi seperti mencari dukungan
menjelang pilkadsa atau sekedar menarik simpati rakyat dalam pembangunan sector
pertanian. Pembangunan pertanian harus terfokus, jangan terkesan parsial dan
banyak ditunggangi kepentingan politik yang bernuansa bisnis seperti tender
pengadaan pupuk bahkan pembanguan infrastruktur seperti irigasi yang tidak
transparan
2. Goodwill pemerintah harus ditujukan ke goal
oriented bukan target oriented. Kebijakan yang dijalankan benar-benar
ditujukan untuk mengangkat derajat petani sekaligus memajukan sector pertanian.
Peningkatan hasil (kuantitas) hendaknya juga diiringi dengan terdongkraknya
kualitas. Kekuatan potensial pertanian di Indonesia, mulai dari sabang hingga ke
Merauke harus menjadi kekuataan riil.[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar