proses acara pemeriksaan dapat
diuraiakan secara singkat, sebagai berikut:
1. Proses pertama penyerahan
berkas perkara sebagaimana menurut ketentuan Pasal 155 ayat (1) KUHAP, yang
berbunyi bahwa “pada saat penuntut umum menyerahkan berkas perkara ke
pengadilan negeri cq. Hakim juga dengan disertai dengan surat dakwaan (vordering)
supaya perkara pidananya diajukan dalam persidangan hakim (terechzitting)
untuk diperiksa dan diadili”.
2. Proses kedua yaitu sidang
I, sebagaimana menurut Pasal 153 ayat (3) Untuk keperluan pemeriksaan hakim
ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam
perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak” 3, selanjutnya menurut Pasal
155 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi bahwa “Pada permulaan sidang, hakim ketua
sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu
yang didengar dan dilihatnya di sidang”, dan selanjutnya menurut Pasal 155 ayat
(2) huruf a KUHAP, yang berbunyi bahwa ”Sesudah itu hakim ketua sidang minta
kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan; selanjutnya pada huruf b,
bahwa ”hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah
benar-benar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum
atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan”.
(pembahasan tentang penuntutan dan surat dakwaan lihat Bab VII dan Bab X dan
pembahasan dalam bab ini); selanjutnya
3. Proses ketiga pada sidang
II, setelah proses pemeriksaan identitas terdakwa dan pembacaan surat dakwaan
oleh penuntut umum, maka menurut Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi bahwa
“Terdakwa atau penasihat hukum mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan
penuntut umum dan/atau pengadilan tidak berwenang”. (pembahasan tentang eksepsi
atau keberatan lihat pada Bab XIV dan dalam pembahasan bab ini). Selanjutnya
4. Proses keempat pada sidang
III, adalah proses pembuktian (lihat pembahasan dalam Bab 15 dan dalam pembahan
bab ini). Proses ini setelah eksepsi atau keberatan terdakwa sebagaimana
dimaksud Pasal 156 KUHAP oleh majelis hakim menjatuhkan putusan sela “menolak
eksepsi aytau keberatan terdakwa”. Selanjutnya
5. Proses kelima pada sidang
IV, adalah pembacaan tuntutan penuntut umum (requisitoir) (pembahasan tentang
penuntutan dan surat dakwaan lihat Bab VII dan Bab X dan pembahasan dalam bab
ini), selanjutnya
6. Proses keenam, ketujuh dan
kedelapan pada sidang V, VI, dan VII, adalah tanya jawab yaitu pembacaan
pleidooi oleh terdakwa/penasihat hukum; pembacaan nader requisitoir oleh
penuntut umum, dan terakhir pembaca-an nader pleidooi oleh terdakwa/penasihat
hukum (lebih lengkapnya lihat pembahasan dalam bab ini); selanjutnya
7. Proses kesembilan pada sidang IX, yaitu musyawarah
majelis hakim dan pembacaan putusan (lebih lengkapnya lihat pembahasan ini
dalam bab ini)
(1) Kekuasaan (kompetensi) mutlak (absolute
kompetentie)
Kekuasaan (kompetensi) mutlak atau absolut ialah
kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan
mengadili (attributie van rechtsmacht) kepada satu macam pengadilan
(pengadilan negeri), bukan kepada pengadilan lain.
Jadi kekuasaan pengadilan secara mutlak atau
absolut, yaitu bahwa untuk mengadili dan memeriksa perkara hanya satu
pengadilan negeri saja yang berwenang mengadilinya, dan tanpa adanya kewenangan
pengadilan lain, atau kekuasaan mengenai perkara apa yang ia berwenang
mengadilinya.
(2) Kekuasaan
(kompetensi) relatif (relatieve kompetensi)
Kekuasaan (kompetensi) relatif adalah kekuasaan
yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attributie
van rechtsmacht) diantara satu macam pengadilan (pengadilan pengadilan
negeri). atau Kekuasaan mengadili perkara-perkara berhubung dengan daerah
hukumnya. Jadi kekuasaan pengadilan
secara relatif, yaitu bahwa untuk mengadili dan memeriksa perkara dapat juga
dilakukan oleh pengadilan negeri lain yang berwenang mengadilinya, adanya
kewenangan pengadilan lain, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bagian kedua, bab
X yang terdiri dari Pasal 84, 85 dan Pasal 86 KUHAP.
Eksepsi
Adapun eksepsi atau tangkisan terdakwa atau
penasihat hukum adalah suatu jawaban atau tanggapan terhadap dakwaan penuntut
umum, demikian sebagaimana menurut Retnowulan Sutantio6, adalah ”suatu jawaban yang tidak mengenai pokok
perkara”, sedangkan menurut J.C.T. Simorangkir7, bahwa ”exceptie atau tangkisan, penolakan yang
berisikan agar supaya pengadilan tidak dapat menerima atau menyatakan tidak
berwenang untuk memeriksa perkara yang diajukan”.
Oleh karena itu eksepsi atau tangkisan ini sangat
penting artinya bagi terdakwa atau penasihat hukum, sebab dengan mengeksepsi
suatu surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum dapat berakibat:
- Surat dakwaan yang dibuat oleh
penuntut umum, dinyatakan ”tidak dapat diterima” (Pasal 143 ayat (2) huruf a
KUHAP).
- Surat dakwaan yang dibuat oleh
penuntut umum, dinyatakan ”batal
demi hukum” (Pasal 143 ayat (3) KUHAP).
- Surat dakwaan yang dibuat oleh
penuntut umum, dinyatakan ”ditolak”.
- Perkara dinayatakan sudah
”nebis in idem”.
- Pengadilan menyatakan dirinya tidak berwenang
mengadili perkara tersebut, karena menjadi wewenang pengadilan lain atau
pengadilan negeri yang lain (kompetensi absolut dan relatif dari pengadilan).
- Penuntutan dinyatakan ”telah
daluwarsa”.
- Pelaku tindak pidana
dinyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 14 KUHAP).
Jenis-jenis dan Alasan atau Dasar Eksepsi
KUHAP hanya mengatur tentang beberapa jenis dan
alasan atau dasar eksepsi sebagiaman diatur dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2)
KUHAP dan Pasal 148 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:
a. Masalah Kompetensi
Pengadilan: kompetensi absolut dan relatif
b. Masalah Surat Dakwaan
Penuntut Umum : Syarat Formil dan Syarat
Materiil
c. Perkara itu telah ne bis in idem (Pasal 76
KUHAP);
d. Perkara yang sama sedang diadili di pengadilan
negeri lain atau sedang dalam tingkat banding
atau kasasi.
e. Terdakwa tidak dapat dipertanggungajawabkan
(Pasal 44 KUHPidana);
f. Dakwaan penuntut umum kabur (abscuur libel);
g. Penuntutan telah daluarsa (Pasal 74 KUHPidana).
UPAYA
HUKUM BIASA
Upaya hukum biasa diatur di dalam Bab XVII, Bagian Kesatu dari
Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat banding,
dan Bagian Kedua dari Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP tentang
pemeriksaan tingkat kasasi.
Upaya hukum biasa adalah hak terdakwa dan penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan negeri atau tingkat pertama (judex
factie), sehingga maksud dari upaya hukum dari terdakwa (terpidana) atau
penuntut umum tidak puas atau tidak dapat menerima putusan tersebut, adalah:
1. Untuk memperbaiki kesalahan
yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya.
2. Untuk kesatuan dalam
pengadilan
3. sebagai perlindungan
terhadap tindak sewenag-wenang hakim atau pengadilan.
1. Pemeriksaan Banding
Pemeriksaan banding adalah pemeriksaan perkara pada
tingkat II atau pengadilan tinggi, maka pengertian banding sebagaimana menurut J.C.T.
Simorangkir4, adalah “suatu alat hukum (rechtsniddel) yang merupakan
hak terdakwa dan hak penuntut umum untuk memohon, supaya putusan pengadilan
negeri diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi. Tujuan dari pada hak ini adalah untuk
memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada putusan pertama. Hak memohon
banding ini senantiasa diperingatkan oleh hakim kepada terdakwa sesudah
putusannya diucapkan. Pengadilan tinggi dapat membenarkan, mengubah atau
membatalkan putusan pengadilan negeri”.
2. Pemeriksaan Kasasi
Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan
bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan
kehakiman-nya, artinya kekuasaan kehakiman ditafsirkan secara luas dan sempit.
Jadi penafsiran secara sempit yaitu “jika hakim memutus sesuatu perkara padahal
hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman; dalam arti luas misalnya
jika hakim pengadilan tinggi memutus padahal hakim pertama telah membebas-kan.
Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan
penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan
undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
Menurut Wirjono Prodjodikoro9, bahwa kasasi adalah pembatalan, yaitu suatu
tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawasan tertinggi atas putusan-putusan
pengadilan-pengadilan lain. Jadi kasasi sendiri berarti pembatalan/vernietiging
dan hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai yang melakukan pengawasan
tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain (Pasal 39 Undang-undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman).
UPAYA HUKUM
LUAR BIASA
KUHAP telah mengatur pula tentang upaya hukum luar biasa yang
merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa, sebagaimana diatur dalam Bab
XVIII Bagian Kesatu dari Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP tentang kasasi
demi kepentingan hukum dan Bagian Kedua dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 269
KUHAP tentang peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Jadi upaya hukum luar biasa hanya dapat dilakukan apabila putusan
hakim telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2. Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan terhadap
semua putusan yang telah memperoleh kekuataan hukum yang tetap, yang hanya
dapat diajukan oleh oleh Jaksa Agung berdasarkan penyampaian dari pejabat
kejaksaan yang menurut pendapatnya perkara ini perlu dimintakan kasasi demi
kepentingan hukum.
Adapun putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap
yang dapat dimintakan kasasi demi kpenetingan hukum oleh Jaksa Agung, adalah
putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, kecuali putusam Mahkamah
Agung.
Dalam pengajuan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung
dimaksudkan untuk menjaga kepentingan terpidana, sebab putusan kasasi demi
kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan (terpidana)
(Pasal 259 ayat (2) KUHAP), artinya hukuman yang akan dijatuhkan oleh Mahkamah
Agung atas permintaan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung tidak
boleh lebih berat dari hukuman semula yang telah dijatuhkan dan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Jadi permintaan kasasi demi hukum oleh Jaksa Agung, tidak lain
dimaksudkan adalah membuka kemungkinan bagi perubahan atas putusan pengadilan
di bawah keputusan Mahkamah Agung, yang dirasakan kurang tepat oleh Jaksa
Agung, dengan kata lain putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri atau
pengadilan tinggi terlalu berat yang tidak sesuai dengan tuntutan penuntut
umum.
Peninjauan Kembali (Herziening)
Menurut J.C.T. Simorangkir20, bahwa herziening adalah peninjauan kembali
terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
revisi. Jadi herziening adalah suatu peninjauan kembali atas putusan di semua
tingkat pengadilan, seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah
Agung yang telah berkekuatan hukum yang tetap, kecuali atas putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat (1) KUHAP).
6.
UPAYA HUKUM GRASI
Selain upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa tersebut di
atas, masih terdapat upaya hukum lain yaitu grasi yang tidak diatur di dalam
KUHAP dan UU RI No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, namun diatur di
dalam UU RI No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi.
(1).
PengertianAndi Sofyan 317
Grasi berasal dari kata “Gratie”,
yang menurut J.C.T. Simorangkir27 berarti wewenang dari kepala
Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh
hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau merobah sifat/bentuk hukuman
itu”. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 UU RI No. 5 tahun 2010 tentang Grasi,
bahwa grasi adalah “pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”.
KEPUTUSAN
PENGADILAN (HAKIM)
Setelah majelis hakim selesai musyawarah, maka sidang selanjutnya
(sidang kedelapan) segera membacakan putusannya, dengan memanggil kembali
terdakwa dan penasihat hukum serta penuntut umum.
Adapun yang dimaksud dengan
putusan pengadilan menurut Pasal 1 angka 11 KUHAP, yang berbunyi bahwa:
”pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
PROSES KEEMPAT PADA SIDANG III,
adalah proses pembuktian (lihat pembahasan dalam Bab 15 dan dalam pembahan bab
ini). Proses ini setelah eksepsi atau keberatan terdakwa sebagaimana dimaksud
Pasal 156 KUHAP oleh majelis hakim menjatuhkan putusan sela “menolak eksepsi
aytau keberatan terdakwa”.
Barang Bukti
KUHAP hanya menjelaskan tentang alat bukti
sebagaimana uraian di atas, namun pengertian barang bukti tidak dijelaskan,
namun dalam HIR Pasal 63 sampai 67 HIR disebutkan, bahwa ”barang-barang yang
dapat diperguna-kan sebagai bukti, dapatlah dibagi atas:
1. barang yang merupakan objek peristiwa pidana;
2. barang yang merupakan produk peristiwa pidana;
3. barang yang dipergunakan sebagai alat
pelaksanaan peristiwa pidana;
4. barang-barang yang terkait di dalam peristiwa
pidana.
Barang yang merupakan objek, misalnya dalam perkara pencurian
uang, maka uang tersebut dipergunakan sebagai barang bukti, selain itu
dibedakan antara objek mati (tidak bernyawa) dan objek yang bernyawa, maka
objek mati adalah benda-benda tak bernyawa, sedangkan yang bernyawa misalnya
pencurian hewan dan lain sebagainya, barang yang merupakan produk peristiwa
pidana, misalnya uang palsu atau obat-obatan dan sebagainya, demikian pula
barang yang dipergunakan sebagai alat pelaksanaan peristiwa pidana, misalnya
senjata api atau parang yang dipergunakan untuk penganiayaan atau pembunuhan
orang dan sebagainya, sedangkan barang yang terkait di dalam peristiwa pidana,
misalnya bekas-bekas darah [ada pakaian, bekas sidik jari,dan lain sebagainya.
ALAT BUKTI yang sah sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, sebagai berikut:
(1) Keterangan
Saksi (Pemeriksaan Saksi):
Adapun yang dimaksud dengan
keterangan saksi sebagaimana menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP, yang berbunyi
bahwa: “salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri9 dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar