Senin, 06 Juli 2015

HUKUM ACARA PIDANA


proses acara pemeriksaan dapat diuraiakan secara singkat, sebagai berikut:
1. Proses pertama penyerahan berkas perkara sebagaimana menurut ketentuan     Pasal 155 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi bahwa “pada saat penuntut umum menyerahkan berkas perkara ke pengadilan negeri cq. Hakim juga dengan disertai dengan surat dakwaan (vordering) supaya perkara pidananya diajukan dalam persidangan hakim (terechzitting) untuk diperiksa dan diadili”.
2. Proses kedua yaitu sidang I, sebagaimana menurut Pasal 153 ayat (3) Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak” 3, selanjutnya menurut Pasal 155 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi bahwa “Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang”, dan selanjutnya menurut Pasal 155 ayat (2) huruf a KUHAP, yang berbunyi bahwa ”Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan; selanjutnya pada huruf b, bahwa ”hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan”. (pembahasan tentang penuntutan dan surat dakwaan lihat Bab VII dan Bab X dan pembahasan dalam bab ini); selanjutnya
3. Proses ketiga pada sidang II, setelah proses pemeriksaan identitas terdakwa dan pembacaan surat dakwaan oleh penuntut umum, maka menurut Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi bahwa “Terdakwa atau penasihat hukum mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan penuntut umum dan/atau pengadilan tidak berwenang”. (pembahasan tentang eksepsi atau keberatan lihat pada Bab XIV dan dalam pembahasan bab ini). Selanjutnya
4. Proses keempat pada sidang III, adalah proses pembuktian (lihat pembahasan dalam Bab 15 dan dalam pembahan bab ini). Proses ini setelah eksepsi atau keberatan terdakwa sebagaimana dimaksud Pasal 156 KUHAP oleh majelis hakim menjatuhkan putusan sela “menolak eksepsi aytau keberatan terdakwa”. Selanjutnya
5. Proses kelima pada sidang IV, adalah pembacaan tuntutan penuntut umum (requisitoir) (pembahasan tentang penuntutan dan surat dakwaan lihat Bab VII dan Bab X dan pembahasan dalam bab ini), selanjutnya
6. Proses keenam, ketujuh dan kedelapan pada sidang V, VI, dan VII, adalah tanya jawab yaitu pembacaan pleidooi oleh terdakwa/penasihat hukum; pembacaan nader requisitoir oleh penuntut umum, dan terakhir pembaca-an nader pleidooi oleh terdakwa/penasihat hukum (lebih lengkapnya lihat pembahasan dalam bab ini); selanjutnya
7. Proses kesembilan pada sidang IX, yaitu musyawarah majelis hakim dan pembacaan     putusan (lebih lengkapnya lihat pembahasan ini dalam bab ini)
(1) Kekuasaan (kompetensi) mutlak (absolute kompetentie)
Kekuasaan (kompetensi) mutlak atau absolut ialah kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attributie van rechtsmacht) kepada satu macam pengadilan (pengadilan negeri), bukan kepada pengadilan lain.
Jadi kekuasaan pengadilan secara mutlak atau absolut, yaitu bahwa untuk mengadili dan memeriksa perkara hanya satu pengadilan negeri saja yang berwenang mengadilinya, dan tanpa adanya kewenangan pengadilan lain, atau kekuasaan mengenai perkara apa yang ia berwenang mengadilinya.
 (2) Kekuasaan (kompetensi) relatif (relatieve kompetensi)
Kekuasaan (kompetensi) relatif adalah kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attributie van rechtsmacht) diantara satu macam pengadilan (pengadilan pengadilan negeri). atau Kekuasaan mengadili perkara-perkara berhubung dengan daerah hukumnya. Jadi kekuasaan pengadilan secara relatif, yaitu bahwa untuk mengadili dan memeriksa perkara dapat juga dilakukan oleh pengadilan negeri lain yang berwenang mengadilinya, adanya kewenangan pengadilan lain, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bagian kedua, bab X yang terdiri dari Pasal 84, 85 dan Pasal 86 KUHAP.

Eksepsi
Adapun eksepsi atau tangkisan terdakwa atau penasihat hukum adalah suatu jawaban atau tanggapan terhadap dakwaan penuntut umum, demikian sebagaimana menurut Retnowulan Sutantio6, adalah ”suatu jawaban yang tidak mengenai pokok perkara”, sedangkan menurut J.C.T. Simorangkir7, bahwa ”exceptie atau tangkisan, penolakan yang berisikan agar supaya pengadilan tidak dapat menerima atau menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa perkara yang diajukan”.
Oleh karena itu eksepsi atau tangkisan ini sangat penting artinya bagi terdakwa atau penasihat hukum, sebab dengan mengeksepsi suatu surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum dapat berakibat:
- Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum, dinyatakan ”tidak dapat diterima” (Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP).
- Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum, dinyatakan ”batal demi hukum” (Pasal 143 ayat (3) KUHAP).
- Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum, dinyatakan ”ditolak”.
- Perkara dinayatakan sudah ”nebis in idem”.
- Pengadilan menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut, karena menjadi wewenang pengadilan lain atau pengadilan negeri yang lain (kompetensi absolut dan relatif dari pengadilan).
- Penuntutan dinyatakan ”telah daluwarsa”.
- Pelaku tindak pidana dinyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 14 KUHAP).
Jenis-jenis dan Alasan atau Dasar Eksepsi
KUHAP hanya mengatur tentang beberapa jenis dan alasan atau dasar eksepsi sebagiaman diatur dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP dan Pasal 148 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:
a. Masalah Kompetensi Pengadilan: kompetensi absolut dan relatif
b. Masalah Surat Dakwaan Penuntut Umum : Syarat Formil dan Syarat Materiil
c. Perkara itu telah ne bis in idem (Pasal 76 KUHAP);
d. Perkara yang sama sedang diadili di pengadilan negeri lain atau sedang dalam tingkat  banding atau kasasi.
e. Terdakwa tidak dapat dipertanggungajawabkan (Pasal 44 KUHPidana);
f. Dakwaan penuntut umum kabur (abscuur libel);
g. Penuntutan telah daluarsa (Pasal 74 KUHPidana).
UPAYA HUKUM BIASA
Upaya hukum biasa diatur di dalam Bab XVII, Bagian Kesatu dari Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat banding, dan Bagian Kedua dari Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat kasasi.
Upaya hukum biasa adalah hak terdakwa dan penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan negeri atau tingkat pertama (judex factie), sehingga maksud dari upaya hukum dari terdakwa (terpidana) atau penuntut umum tidak puas atau tidak dapat menerima putusan tersebut, adalah:
1. Untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya.
2. Untuk kesatuan dalam pengadilan
3. sebagai perlindungan terhadap tindak sewenag-wenang hakim atau pengadilan.
1. Pemeriksaan Banding
Pemeriksaan banding adalah pemeriksaan perkara pada tingkat II atau pengadilan tinggi, maka pengertian banding sebagaimana menurut J.C.T. Simorangkir4, adalah “suatu alat hukum (rechtsniddel) yang merupakan hak terdakwa dan hak penuntut umum untuk memohon, supaya putusan pengadilan negeri diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi. Tujuan dari pada hak ini adalah untuk memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada putusan pertama. Hak memohon banding ini senantiasa diperingatkan oleh hakim kepada terdakwa sesudah putusannya diucapkan. Pengadilan tinggi dapat membenarkan, mengubah atau membatalkan putusan pengadilan negeri”.

 2. Pemeriksaan Kasasi
Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakiman-nya, artinya kekuasaan kehakiman ditafsirkan secara luas dan sempit. Jadi penafsiran secara sempit yaitu “jika hakim memutus sesuatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman; dalam arti luas misalnya jika hakim pengadilan tinggi memutus padahal hakim pertama telah membebas-kan.
Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
Menurut Wirjono Prodjodikoro9, bahwa kasasi adalah pembatalan, yaitu suatu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawasan tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain. Jadi kasasi sendiri berarti pembatalan/vernietiging dan hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai yang melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain (Pasal 39 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman).
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
KUHAP telah mengatur pula tentang upaya hukum luar biasa yang merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa, sebagaimana diatur dalam Bab XVIII Bagian Kesatu dari Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP tentang kasasi demi kepentingan hukum dan Bagian Kedua dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP tentang peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Jadi upaya hukum luar biasa hanya dapat dilakukan apabila putusan hakim telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2. Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuataan hukum yang tetap, yang hanya dapat diajukan oleh oleh Jaksa Agung berdasarkan penyampaian dari pejabat kejaksaan yang menurut pendapatnya perkara ini perlu dimintakan kasasi demi kepentingan hukum.
Adapun putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap yang dapat dimintakan kasasi demi kpenetingan hukum oleh Jaksa Agung, adalah putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, kecuali putusam Mahkamah Agung.
Dalam pengajuan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung dimaksudkan untuk menjaga kepentingan terpidana, sebab putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan (terpidana) (Pasal 259 ayat (2) KUHAP), artinya hukuman yang akan dijatuhkan oleh Mahkamah Agung atas permintaan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung tidak boleh lebih berat dari hukuman semula yang telah dijatuhkan dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Jadi permintaan kasasi demi hukum oleh Jaksa Agung, tidak lain dimaksudkan adalah membuka kemungkinan bagi perubahan atas putusan pengadilan di bawah keputusan Mahkamah Agung, yang dirasakan kurang tepat oleh Jaksa Agung, dengan kata lain putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri atau pengadilan tinggi terlalu berat yang tidak sesuai dengan tuntutan penuntut umum.
Peninjauan Kembali (Herziening)
Menurut J.C.T. Simorangkir20, bahwa herziening adalah peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; revisi. Jadi herziening adalah suatu peninjauan kembali atas putusan di semua tingkat pengadilan, seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum yang tetap, kecuali atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat (1) KUHAP).
6. UPAYA HUKUM GRASI
Selain upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa tersebut di atas, masih terdapat upaya hukum lain yaitu grasi yang tidak diatur di dalam KUHAP dan UU RI No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, namun diatur di dalam UU RI No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi.
(1). PengertianAndi Sofyan 317
Grasi berasal dari kata “Gratie”, yang menurut J.C.T. Simorangkir27 berarti wewenang dari kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau merobah sifat/bentuk hukuman itu”. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 UU RI No. 5 tahun 2010 tentang Grasi, bahwa grasi adalah “pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”.
KEPUTUSAN PENGADILAN (HAKIM)
Setelah majelis hakim selesai musyawarah, maka sidang selanjutnya (sidang kedelapan) segera membacakan putusannya, dengan memanggil kembali terdakwa dan penasihat hukum serta penuntut umum.
Adapun yang dimaksud dengan putusan pengadilan menurut Pasal 1 angka 11 KUHAP, yang berbunyi bahwa: ”pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
PROSES KEEMPAT PADA SIDANG III, adalah proses pembuktian (lihat pembahasan dalam Bab 15 dan dalam pembahan bab ini). Proses ini setelah eksepsi atau keberatan terdakwa sebagaimana dimaksud Pasal 156 KUHAP oleh majelis hakim menjatuhkan putusan sela “menolak eksepsi aytau keberatan terdakwa”.
Barang Bukti
KUHAP hanya menjelaskan tentang alat bukti sebagaimana uraian di atas, namun pengertian barang bukti tidak dijelaskan, namun dalam HIR Pasal 63 sampai 67 HIR disebutkan, bahwa ”barang-barang yang dapat diperguna-kan sebagai bukti, dapatlah dibagi atas:
1. barang yang merupakan objek peristiwa pidana;
2. barang yang merupakan produk peristiwa pidana;
3. barang yang dipergunakan sebagai alat pelaksanaan peristiwa pidana;
4. barang-barang yang terkait di dalam peristiwa pidana.
Barang yang merupakan objek, misalnya dalam perkara pencurian uang, maka uang tersebut dipergunakan sebagai barang bukti, selain itu dibedakan antara objek mati (tidak bernyawa) dan objek yang bernyawa, maka objek mati adalah benda-benda tak bernyawa, sedangkan yang bernyawa misalnya pencurian hewan dan lain sebagainya, barang yang merupakan produk peristiwa pidana, misalnya uang palsu atau obat-obatan dan sebagainya, demikian pula barang yang dipergunakan sebagai alat pelaksanaan peristiwa pidana, misalnya senjata api atau parang yang dipergunakan untuk penganiayaan atau pembunuhan orang dan sebagainya, sedangkan barang yang terkait di dalam peristiwa pidana, misalnya bekas-bekas darah [ada pakaian, bekas sidik jari,dan lain sebagainya.

ALAT BUKTI yang sah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, sebagai berikut:
(1) Keterangan Saksi (Pemeriksaan Saksi):
Adapun yang dimaksud dengan keterangan saksi sebagaimana menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP, yang berbunyi bahwa: “salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri9 dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.

Tidak ada komentar: